Survei: 8 dari 10 orang anggap China ancaman kedaulatan di Laut China Selatan

"Umumnya masyarakat menganggap konflik di Laut China Selatan adalah masalah kedaulatan wilayah."
Pizaro Gozali Idrus
2024.03.20
Jakarta
Survei: 8 dari 10 orang anggap China ancaman kedaulatan di Laut China Selatan Foto yang diambil pada 15 Februari 2024 ini menunjukkan kapal penjaga pantai China (atas) membayangi BRP Datu Tamblot (bawah) dalam misi bantuan kepada nelayan di Scarborough Shoal di Laut China Selatan.
Jam Sta Rosa/AFP

Sebuah survei lembaga studi pertahanan menunjukkan 78,9 persen responden menyatakan China mengancam kedaulatan negara-negara ASEAN termasuk Indonesia di Laut China Selatan terkait konflik batas maritim.

Jajak pendapat yang dilakukan Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) bekerja sama dengan Litbang Kompas juga mencatat 73,1 persen responden menyatakan kedaulatan Indonesia terancam oleh China di kawasan tersebut.

Mayoritas responden yang mendukung persepsi tersebut tergolong Gen Y (34 persen), Gen X (31,9 persen), Baby Boomer (22,3 persen), dan Gen Z (11,6 persen), kata ISDS.

Berdasarkan usia: Gen Z berusia 17-26 tahun, Gen Y antara 27-hingga 42, Gen X berusia 43 hingga 58 tahun dan Baby Boomer lebih dari 58 tahun.

Sebagian responden menilai ASEAN sebagai mitra yang sesuai untuk memperkuat wilayah Indonesia di Laut China Selatan. Malaysia menjadi negara ASEAN yang dipilih mayoritas responden sebanyak 49,5 persen, disusul Singapura 15,8 persen dan Filipina 12,7 persen.

Setelah ASEAN, negara yang dinilai cocok sebagai mitra Indonesia adalah Amerika Serikat (16,7 persen responden), China (14,3 persen), Rusia (8,4 persen), Jepang dan Uni Eropa sebanyak 3,9 persen dan 3,4 persen.

Co-Founder ISDS Erik Purnama Putra mengatakan survei ini menggambarkan bahwa publik Indonesia tidak suka dengan agresivitas kapal-kapal China yang merangsek jauh dari wilayahnya untuk masuk ke wilayah-wilayah Indonesia.

“Padahal kan itu wilayah perairan kita, tapi kapal coast guard dan kapal nelayan mengklaim itu wilayah mereka,” ujar Erik kepada BenarNews pada Rabu (20/3).

Peneliti Litbang Kompas Dimas Okto Danamasi mengatakan survei ini digelar untuk mengukur kesadaran masyarakat terkait kedaulatan negara dalam empat bentuk yakni kedaulatan politik, ekonomi, budaya, dan wilayah.

“Keempatnya ada dalam ketegangan politik di Laut China Selatan,” kata Dimas dalam konferensi pers daring di Jakarta pada Selasa (19/3).

Dimas mengatakan dari empat variabel itu, hampir 54 persen masyarakat menilai hal itu sebagai konflik wilayah yakni terkait dengan batas maritim, wilayah strategis, dan kebebasan jalur pelayaran. Sedangkan hampir 30 persen merupakan konflik ekonomi yang berasal dari masalah sumber daya alam.

“Jadi umumnya masyarakat menganggap konflik di Laut China Selatan adalah masalah kedaulatan wilayah,” ujar Dimas.

Penelitian dilakukan secara kuantitatif melalui survei jajak pendapat via telepon kepada 312 responden berusia 17-60 tahun dengan margin of error 5,6 persen. Wilayah survei ada di lima kota yaitu Medan, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Makassar.

Reaksi pemerintah Indonesia

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Hadi Tjahjanto mengatakan perlu kehati-hatian dalam menangani konflik di Laut China Selatan karena melibatkan banyak pihak.

“Salah perhitungan akan membawa pada situasi konflik yang akan merugikan bersama. China merupakan mitra komprehensif strategis bagi Indonesia dan ASEAN yang memiliki peran sentral dalam perdamaian dan stabilitas kawasan,” ujarnya dalam konferensi pers peluncuran hasil survei di Jakarta.

Hadi mengakui proses perundingan Code of Conduct (CoC) melalui forum Asean-China Joint Working Group on COC sempat berjalan lambat.

Namun, katanya, atas inisiatif dan dorongan Indonesia sebagai Ketua ASEAN pada tahun 2023 lalu, Asean dan China berhasil menyepakati percepatan perundingan COC yang dapat difinalisasi dalam kurun waktu 3 tahun, yaitu pada tahun 2025.

“Kita semua berharap COC dapat menjadi sebuah dokumen yang efektif, substantif, dan actionable untuk menghindari eskalasi dan sekaligus meningkatkan mutual trust dan mutual confidence di antara negara-negara yang berkepentingan di LCS (Laut China Selatan)," ucapnya.

Duta Besar Indonesia untuk Filipina Agus Widjojo mengungkapkan China berdiri sendiri dalam konflik Laut China Selatan karena negara-negara di sekitarnya telah mendapat ancaman dari Beijing karena satu-satunya sekutu China di kawasan hanyalah Korea Utara.

Hal yang terbaru, kata Agus, China menantang Vietnam untuk mempermasalahkan garis batas landas kontinen antara kedua negara.

“Jadi dari segi daya tempur baik itu secara diplomasi, ekonomi atau militer, China masih di bawah. Apalagi Amerika akan selalu mendukung untuk menjamin adanya kebebasan lintas pelayaran internasional," ucapnya.

Namun Agus menilai kekuatan diplomasi akan menjadi ujung tombak untuk mengatasi konflik di Laut China Selatan. Hal itu karena tidak ada satu pun negara yang akan diuntungkan dari adanya konflik.

"Saya rasa diplomasi akan menjadi ujung tombak dari upaya penyelesaian (konflik) ini melalui penggunaan elemen national power yaitu element of national power diplomacy apalagi kita melihat sebetulnya kekuatan ini ada pada kita,” kata Agus.

000_34JJ99W.jpg
Foto yang diambil pada 15 Februari 2024 menunjukkan kapal China yang diidentifikasi oleh Penjaga Pantai Filipina sebagai “milisia maritim” (kelima dari kanan) , kapal nelayan Filipina, dan BRP Datu Tamblot (tengah) di Laut China Selatan. [Jam Sta Rosa/AFP]

Kapal sipil masuk Laut China Selatan

Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Republik Indonesia Laksamana Madya Irvansyah mengatakan lembaganya bisa lebih diprioritaskan dalam menangani masalah di Laut China Selatan karena yang mereka hadapi rata-rata lebih banyak kapal-kapal sipil daripada militer.

“Kapal ikan Vietnam, coast guard-nya China yang sebagaian besar kapal-kapal sipil,” ujarnya.

Untuk itu, Irvansyah mendorong agar coast guard negara-negara ASEAN bisa lebih intensif menjalin kerja sama dalam mengatasi konflik di Laut China Selatan.

“Apabila yang diajukan militer tensinya cenderung naik. Kami sebagai coast guard-coast guard di ASEAN ini perlu diperkuat kerja samanya. Karena situasi di Laut China Selatan masih tertib sipil bukan darurat militer,” katanya.

Erik mengungkapkan ancaman nyata kedaulatan di Laut China Selatan tidak bisa ditangani sendiri oleh Indonesia. Untuk itu, Indonesia harus menggandeng negara anggota ASEAN untuk bersama-sama menyuarakan aspirasinya.

“Sebagai negara Non-Blok, RI tidak bisa membentuk aliansi militer, melainkan mencari kawan sebanyak-banyaknya untuk mengatasi masalah bersama. Mayoritas publik ingin Indonesia menggandeng negara-negara ASEAN untuk menyuarakan adanya pelanggaran kedaulatan di Laut China Selatan,” ungkap Erik.

Erik mengungkapkan perlunya koordinasi lebih ketat di antara para stakeholders keamanan laut, termasuk TNI dan Bakamla. Tujuannya, agar patroli bisa lebih dilakukan efisien dan efektif dari sisi sumber daya.

“Pemerintah perlu mengalokasikan sumber daya berupa anggaran lebih banyak untuk keamanan laut,” paparnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.