Protes pencemaran tambak udang melalui medsos, aktivis divonis penjara 7 bulan
2024.04.04
Jakarta
Pengadilan Negeri Jepara di Jawa Tengah pada Kamis (4/4) menjatuhkan hukuman tujuh bulan penjara kepada aktivis lingkungan Daniel Frits Maurits Tangkilisan, yang melakukan kritik melalui akun media sosial miliknya terhadap aktivitas tambak udang di Karimunjawa yang mencemari lingkungan.
Pengadilan mengatakan bahwa unggahan Daniel di akun Facebook pribadinya itu telah meresahkan masyarakat dan menimbulkan rasa kebencian terhadap suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), peraturan yang selama ini telah banyak menyebabkan aktivis lingkungan dan hak asasi manusia (HAM) berurusan dengan hukum.
Majelis hakim, yang dipimpin oleh Parlin Mangatas Bona Tua juga menjatuhkan denda Rp 5 juta kepada Daniel atas tindakannya tersebut.
“Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan,” ujar Parlin saat membacakan putusannya, seperti disiarkan langsung oleh channel YouTube SAFEnet Voice.
Kelompok aktivis lingkungan dan HAM mengecam putusan yang dijatuhkan terhadap Daniel, dengan mengatakan bahwa putusan tersebut merupakan hal berbahaya karena mengeksploitasi sistem peradilan untuk membungkam dan mengkriminalisasi individu.
Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia Sekar Banjaran Aji mengatakan putusan hakim tidak berimbang karena tidak memperhatikan ketentuan Anti SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) dalam putusan.
Anti SLAPP adalah ketentuan yang menjamin perlindungan hukum bahwa masyarakat tidak dapat dituntut secara pidana maupun secara perdata dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Ini artinya hakim tidak mempunyai keberpihakan terhadap kepentingan lingkungan hidup. Dampak dari putusan ini memberikan efek yang sangat buruk bagi upaya pelestarian lingkungan di Karimunjawa,” ujar dia pada BenarNews.
Putusan ini membuat citra buruk peradilan Indonesia dan membuat preseden bahwa seseorang bisa dihukum karena persepsi subyektif orang lain, meski tidak terbukti kebenarannya.
“Perkara Daniel tidak memenuhi unsur pelanggaran UU ITE, namun majelis hakim hanya mempertambahkan pendapat satu ahli bahasa,” ujar dia.
Daniel didakwa pada bulan Juni 2023 atas unggahannya di Facebook pada 12 November 2022, di mana ia memposting video berdurasi 6:03 menit yang memperlihatkan kondisi pesisir Karimunjawa di lepas pantai utara Jawa yang terdampak limbah tambak udang.
Postingan itu mendapatkan tanggapan beragam. Daniel membalas salah satu komentar dengan menulis, “Masyarakat otak udang menikmati makan udang gratis sambil dimakan petambak. Intine sih masyarakat otak yang itu kaya ternak udang itu sendiri. Dipakani enak, banyak & teratur untuk dipangan.”
Kemudian pada bagian lain, Daniel menambah komentarnya dengan tulisan: “Yang menikmati tambak seperti udang gratis, masjid, mushalla, lapangan volley dibangun duit petambak, itu persis kaya ternak udang itu sendiri. Dipakani enak, banyak & teratur untuk dipangan. Mereka ga sadar sumber pencaharian dan diri mereka sendiri sedang dipangan. Deloki akibatnya ga lama lagi.”
Unggahan Daniel tersebut dilaporkan oleh sekelompak warga di Karimunjawa yang merasa tersinggung.
“Perbuatan terdakwa menimbulkan rasa kebencian di sebagian kelompok masyarakat Desa Kemujan dan Desa Karimunjawa karena terjadi pro dan kontra,” ujar salinan putusan yang diperoleh BenarNews.
Pengacara terdakwa, Muhnur, S.H., mengatakan kliennya tidak bermaksud menebar kebencian di tengah masyarakat tetapi hanya menyuarakan keprihatinannya soal lingkungan di Karimunjawa. Ungkapan “otak udang” sama sekali tidak ditujukan pada masyarakat Karimunjawa.
“Ungkapan itu kan bisa saja tidak ditujukan pada siapa-siapa. Daniel tidak pernah pernah mengatakan masyarakat Karimunjawa otak udang,” ujar Muhnur kepada BenarNews.
Tiga rekan Daniel yang juga aktif dalam kampanye #SaveKarimunjawa – Hasanuddin, Datang Abdul Rohim dan Sumarto Rofi’un – dilaporkan pada bulan November 2023 ke polisi setempat karena mengunggah video perlawanan mereka terhadap tambak udang di wilayah tersebut, demikian dilaporkan Mongabay.
Seperti dikutip di media advokasi lingkungan itu, tuduhan terhadap keempat aktivis itu berpusat pada upaya mereka untuk menarik perhatian terhadap meningkatnya jumlah tambak udang ilegal di Kepulauan Karimunjawa.
Greenpeace Indonesia menyebut bahwa terdapat peningkatan jumlah tambak ilegal di Karimunjawa sejak tahun 2016.
Organisasi ini juga menyebut bahwa masyarakat setempat melakukan penolakan terhadap tambak-tambak ilegal di sana karena tambak-tambak itu membuang limbah langsung ke laut, yang merusakkan terumbu karang, rumput laut dan mengakibatkan ikan-ikan mati tercemar. Keberadaan tambak-tambak tersebut juga memicu konflik horisontal di masyarakat antara nelayan dengan petambak, demikan laporan Greenpeace.
Setahun belakangan, penolakan terhadap usaha tambak udang terus digaungkan oleh sebagian warga di wilayah Karimunjawa, seperti dikutip Kompas.
Menurut Bambang Zakariya, salah satu warga Karimunjawa, usaha tambak udang di wilayahnya menghasilkan limbah padat dan cair yang mencemari lingkungan. Kondisi itu membuat rumput laut, kerang-kerang, kerapu dan lobster yang dibudidayakan masyarakat setempat mati.
Kondisi tersebut lantas memicu gelombang protes dari sebagian warga. Pihak yang kontra terhadap usaha tambak udang menggelar sejumlah aksi dan unjuk rasa mendorong penutupan usaha tambak udang.
Mahkamah Agung untuk menangani serius
Wahyudi Djafar, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), mengatakan pengadilan justru menjadi tempat yang menghambat kebebasan berekspresi.
Dia meminta Mahkamah Agung memberi perhatian serius pada penanganan perkara berdimensi teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini untuk memastikan kesesuaian penerapan hukum dalam setiap perkara yang ditangani.
“Ini agar pengadilan tidak menjadi pintu gerbang bagi penghukuman terhadap kebebasan berekspresi,” ujar dia.
Menurut Wahyudi, Mahkamah Agung perlu juga menyediakan panduan penanganan perkara teknologi informasi dan komunikasi, termasuk menyediakan bimbingan teknis bagi para hakim di semua tingkatan peradilan.
“Khususnya dalam mengadili kasus-kasus yang berdimensi kebebasan berekspresi dan berpendapat, baik yang melalui medium online maupun offline,” ujar dia.