Sebut tidak temukan kecurangan, Kawal Pemilu umumkan Prabowo pemenang Pilpres
2024.03.12
Jakarta
Lembaga pemantau Kawal Pemilu pada Selasa (12/3) menyatakan hasil penghitungan pemilihan presiden yang mereka lakukan menunjukkan bahwa Prabowo Subianto keluar sebagai pemenang dalam Pemilu 2024.
Kawal Pemilu juga menyebut tidak ada indikasi kecurangan yang menguntungkan salah satu calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) usai pencoblosan.
Lembaga independen itu menyampaikan telah menyelesaikan semua form C1 yang diunggah sebanyak 82.27% atau 677.413 tempat pemungutan suara (TPS) dari total 823.366. Hasilnya pasangan capres-cawapres Menteri Pertahanan Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko “Jokowi” Widodo, unggul dengan 58,44 % atau 78,7 juta suara.
Sementara pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar berada di posisi kedua dengan perolehan 25,05% atau 33.7 juta suara. Lalu pasangan nomor urut 3, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, menempati urutan terakhir dengan 16,51% atau 22,2 juta suara.
“Dengan hasil penghitungan suara real count Kawal Pemilu 2024 masih tersisa 17.3% cakupan TPS. Namun tidak akan mengubah hasil penghitungan sementara,” terang Kawal Pemilu dalam keterangan persnya, Selasa.
“Oleh karena itu kami mengucapkan selamat kepada paslon 02 yang menang satu putaran lebih dari 50% pada Pilpres 2024.”
Namun Kawal Pemilu mengatakan pesta demokrasi tahun 2024 menjadi catatan terburuk dimana mereka menyelesaikan penghitungan lebih sedikit dibanding dua pemilu sebelumnya.
Pada pemilu 2014 dan 2019 masing-masing cakupan TPS yang dilaporkan Kawal Pemilu mencapai 99,76% dan 82,27%.
Tak berwenang teliti dugaan kecurangan sebelum pemilu
Kawal Pemilu juga menepis isu dugaan kecurangan usai berlangsungnya pemilihan.
“Dari penelitian ini, kami tidak menemukan indikasi kecurangan pasca-pencoblosan Pilpres yang terstruktur, sistimatis dan masif (TSM) sehingga menguntungkan salah satu paslon,” ujarnya.
Ainun Najib, pendiri Kawal Pemilu, mengatakan lembaganya tidak berwenang untuk bisa meneliti dugaan kecurangan sebelum pemilu.
“Bukan ranahnya Kawal Pemilu (untuk meneliti indikasi kecurangan sebelum dan saat hari H pencoblosan), karena kami hanya bisa mengumpulkan hasil penghitungan suara dari foto C1,” ujarnya kepada BenarNews.
Ainun mengatakan lebih rendahnya laporan dari tiap TPS terjadi utamanya karena foto-foto C1 dari aplikasi sirekap Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak lengkap 100%. Padahal Kawal Pemilu sangat mengandalkan scan resmi KPU untuk daerah-daerah terpencil di mana tidak ada masyarakat yang mengunggah form C1.
“Pada dua pemilu sebelumnya scan C1 dari KPU hampir 100% lengkap,” ujarnya.
Hingga saat ini, Kawal Pemilu mencatat ada sebanyak 6.221 TPS salah hitung oleh KPU, termasuk di antaranya 656 TPS yang mengalami perselisihan, 4,359 salah input, dan 222 salah TPS.
Angka yang representatif
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional Wasisto Raharjo Jati mengatakan angka form C1 dari 82% TPS merupakan jumlah yang besar untuk melihat hasil pemilu.
“Saya pikir itu sudah representatif dalam melihat hasil pilpres karena angka itu sudah melewati lebih dari 50% yang menjadi ambang batas psikologis soal keterpilihan capres dan cawapres,” ujarnya kepada BenarNews.
Analis politik dari Universitas Jenderal Soedirman, Indaru Setyo Nurprojo, mengatakan hal senada.
“Jika sudah data masuk sudah mencapai 82,27% TPS, maka suara yang belum masuk tidak akan memengaruhi hasil penghitungan, kata Indaru kepada BenarNews.
Jeirry Sumampow, Koordinator Komite Pemilih Indonesia, sebuah lembaga non-pemerintah, mengatakan minimnya partisipasi masyarakat dalam melaporkan hasil pemilu terjadi karena beberapa faktor.
Pertama, hal itu terjadi karena masyarakat sudah merasa cukup dengan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei.
Kedua, karena terjadinya sengketa di TPS sehingga menghambat pelaporan hasil pemilu. Ketiga, masyarakat sudah malas mengunggah form C1 karena menilai ada banyak kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu.
“Dengan partisipasi 82% saja artinya ada yang tidak beres di bawah (dalam pelaksanaan pemilu),” jelasnya kepada BenarNews.
Pertanyakan Kawal Pemilu
Jeirry mempertanyakan mengapa Kawal Pemilu tidak menemukan indikasi kecurangan setelah pencoblosan.
“Pasca pemilu juga banyak kecurangan. Kok malah mereka tak temukan ada kecurangan? Malah yang lebih jelas kecurangan pasca hari H. Sebab sudah berkaitan dengan pengaturan suara,” tuturnya.
Selain itu, kata Jeirry, laporan-laporan kecurangan juga banyak terjadi sebelum pemilu. Bentuknya antara lain intimidasi kepada aparatur sipil negara bersama keluarganya untuk memilih calon tertentu dan mobilisasi melalui perangkat negara untuk memenangkan calon tertentu.
“Kami juga mendapatkan laporan di Sumatra, Sulawesi, Bali, bahwa pembagian bansos dibagikan hanya dua hari sebelum pemilu,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid, salah satu dari 50 tokoh yang menyurati para pimpinan partai politik untuk menggulirkan hak angket di DPR, mengatakan hal yang sama.
“Jadi bukan hanya saat pencoblosan di 14 Februari 2024, bahkan hingga proses penghitungan suara KPU yang memperlihatkan banyak kejanggalan atau keanehan,” ujar Usman kepada BenarNews.
Namun demikian, dia tetap menghormati kesimpulan Kawal Pemilu.
Menurut Usman, di kalangan masyarakat umum dan aktivis mahasiswa mulai berkembang aksi-aksi protes untuk menolak kecurangan pemilu. Jika membesar, ini melemahkan antusiasme rakyat untuk memilih dan menyambut pemimpin serta wakil mereka yang baru.
“Itu sebabnya, tidak ada pilihan lain, kita harus menyelamatkan situasi tersebut dengan cara pelaksanaan hak angket DPR RI,” jelasnya.
Sementara itu, Wakil Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Henry Yosodiningrat mengatakan PDIP siap membawa sejumlah bukti dan saksi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan hasil Pilpres 2024 setelah KPU.
Henry mengungkapkan salah satu saksi yakni seorang kepala kepolisian daerah (kapolda).
Menurutnya, dalam gugatan ke MK, pihaknya tidak fokus pada selisih perolehan suara paslon nomor urut 03 Ganjar-Mahfud dengan paslon pemenang yang diumumkan KPU. Namun, akan fokus pada kecurangan yang masuk kategori TSM.
"Kami memiliki data dan bukti yang kuat sekali,” kata Henry dalam keterangannya, Senin (11/3) seperti dikutip CNN Indonesia.
Henry membenarkan dugaan mobilisasi massa untuk tidak menggunakan hak pilih di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, sehingga partisipasi pemilih cukup rendah berkisar 30%.
Dia juga menyebut hasil Pemilu 2024 sudah didesain dan direncanakan oleh penguasa yang diawali dengan dipaksakannya Gibran maju sebagai cawapres walaupun usianya tidak memenuhi syarat sehingga MK yang saat itu diketuai oleh ipar Jokowi mengubah persyaratan umur capres/cawapres untuk memuluskan langkah Gibran.
"Di sini terlihat terencana semua, Jokowi melakukan intervensi terhadap hukum dan pelaksana hukum," pungkasnya.
Nazarudin Latif di Jakarta turut berkontribusi dalam laporan ini.