Komnas Perempuan: kekerasan berbasis gender turun, kasus yang tidak dilaporkan bisa lebih banyak
2024.03.07
Jakarta
Komnas Perempuan menyatakan pada Kamis (7/3) bahwa jumlah kasus kekerasan berbasis gender tahun lalu menurun hingga 12%, meski mereka meyakini angka sebenarnya jauh lebih tinggi dari yang tercatat oleh lembaga tersebut.
Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan, lembaga ini mencatat jumlah kekerasan terhadap perempuan pada 2023 sebanyak 289.111 kasus, turun 55.920 kasus dibanding tahun sebelumnya.
Maria Ulfah Anshor, anggota Komnas Perempuan, mencatat kasus-kasus pada tahun lalu, yaitu kekerasan terhadap penyandang disabilitas, penderita HIV/AIDS, pekerja migran, pembela HAM, minoritas seksual, kekerasan oleh aparat TNI/Polri dan kekerasan siber.
“Perempuan disabilitas merupakan salah satu kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan,” ujar Maria saat dalam peluncuran Catatan Tahunan 2023 di Jakarta, Kamis.
Menurut Maria, kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas sepanjang 2023 terjadi pada 105 korban. Para korban ini termasuk penyandang disabilitas mental, disabilitas sensorik hingga disabilitas intelektual.
Wakil ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin mengatakan kekerasan berbasis elektronik menduduki posisi tertinggi sebanyak 1.272 kasus.
Fakta ini meneruskan tren sejak pandemi Covid-19 yang menyatakan bahwa kekerasan seksual berbasis teknologi paling banyak terjadi pada anak muda dan dilakukan oleh pacar maupun mantan pacar.
“Infrastruktur penanganan kekerasan siber ini sudah mendesak, terutama untuk memberikan perlindungan pada korban,” ujar dia.
Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa karakteristik korban dan pelaku dari tahun ke tahun sama, yaitu korban lebih muda dan lebih rendah pendidikannya daripada pelaku.
Sementara para pelaku juga dari pihak-pihak yang seharusnya menjadi panutan dan pelindung serta simbol kehadiran negara, kata Maria.
Menurut Maria, fakta ini menunjukkan bahwa akar masalah adalah ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban.
“Kuasa pelaku semakin kuat ketika pelaku memiliki kekuasaan politik, pengetahuan, jabatan struktural, dan tokoh keagamaan,” ujar dia.
Catatan Tahunan 2023 ini juga mencatat terjadi lonjakan kasus kekerasan perempuan di ranah negara hingga 176% dari 68 pada 2022 menjadi 188 pada 2023.
Jenis kekerasan ini meliputi kekerasan pada perempuan oleh anggota TNI dan Polri, diskriminasi, kekerasan pada perempuan pembela HAM, penyiksaan, penggusuran paksa, pengungsian hingga kekerasan pada perempuan di dunia politik.
Pelanggaran pada pekerja migran terdokumentasi sebanyak 257 kasus.
“Ini menunjukkan eksploitasi terhadap pekerja migran, seperti tidak dibayarnya gaji, upah yang rendah, dan kerja paksa yang memperparah kerentanan ekonomi mereka dan keluarga di Indonesia,” ujar Maria.
Penyelesaian kasus-kasus ini terhambat kurangnya perlindungan hukum perempuan pekerja migran di negara tujuan mereka dan stigma sosial negatif pada mereka, kata Maria.
Menurut dia, salah satu perkembangan adalah masyarakat makin mengenali bentuk dan jenis kekerasan seksual. Hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya laporan kasus pelecehan seksual non-fisik dan fisik dibandingkan dengan perkosaan.
“Dari pengalaman yang digali dari korban, ternyata masih sulit mendapatkan perlindungan dan pemulihan, meski berbagai kebijakan perlindungan perempuan dari berbagai tindak pidana telah tersedia,” ujar dia.
Indonesia pada April 2022 lalu mengesahkan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dengan aturan ini pelaku kekerasan seksual diancam hukuman maksimal penjara 15 tahun dan denda sebanyak Rp 1 miliar, kata Mariana.
Sementara para korban kekerasan seksual bisa mendapatkan hak untuk pemulihan psikologis dan pendampingan korban, tambah dia.
Unsur pidana pelecehan seksual dalam UU ini meliputi seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, dan pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan pelecehan seksual berbasis elektronik.
Banyak kasus tak dilaporkan
Analis gender dari Universitas Jenderal Soedirman di Jawa Tengah, Tyas Retno Wulan, mengatakan penurunan jumlah kasus ini bukan berarti kabar yang menggembirakan karena realitasnya justru terjadi eskalasi kekerasan pada perempuan baik dari bentuk maupun pelaku.
Komnas Perempuan, menurut dia, hanya mencatat kasus-kasus dilaporkan, namun dia meyakini kasus tidak dilaporkan masih banyak.
“Penurunan kasus dalam laporan itu tidak berarti apa-apa. Dalam praktiknya, lihat saja dalam pemberitaan, justru kasus kekerasan seksual semakin mengerikan,” ujar Tyas kepada BenarNews.
Menurut Tyas, selama patriarki masih menjadi bercokol di tengah masyarakat Indonesia, maka kekerasan pada perempuan masih banyak yang tidak dilaporkan.
“Masih ada anggapan di masyarakat, jika pelakunya orang dekat maka tidak usah dilaporkan. Karena untuk menjaga marwah keluarga,” ujar dia.
Peneliti gender Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Kurniawati Hastuti Dewi mengatakan laporan ini membuka fakta bahwa ada bentuk kekerasan baru yang difasilitasi teknologi.
“Ini harus mendapat perhatian apalagi banyak menimpa perempuan muda,” ujar Dewi kepada BenarNews.
Menurut Dewi, kehadiran UU TPKS memberikan efek psikologis dan hukum yang turut membantu agar kekerasan terhadap perempuan dapat ditekan.
“Makin banyak kasus kekerasan seksual yang dilaporkan dan ditangani dengan UU TPKS ini artinya UU ini makin efektif menjerat para pelakunya dan memberikan kepastian perlindungan pada korban,” jelas dia.
Meningkatnya kekerasan terhadap perempuan di ranah negara terjadi karena para aparat negara tidak cukup memiliki perspektif gender yang kuat, kata Dewi.
“Padahal bisa jadi akar sebuah masalah politik atau hukum atau dalam konflik sosial adalah adanya ketimpangan relasi gender perempuan dengan laki-laki yang berimbas pada ketimpangan power, akses, partisipasi dan kontrol pada sumber daya strategis publik tersebut; di mana perempuan sering tersingkirkan,” jelasnya.
Rika Rosvianti, pengamat gender “perEMPUan” yang merupakan komunitas edukasi kekerasan seksual, mengatakan tingginya kasus kekerasan seksual pada ranah negara tidak lepas dari cara pandang patriarki, di mana memandang bahwa laki-laki itu lebih tinggi daripada perempuan.
“Akibatnya, perempuan dianggap pantas menjadi objek kekerasan di tingkat negara,” jelasnya.
Pizaro Gozali Idrus berkontribusi pada laporan ini.