Antara kualitas dan popularitas: Selebritas ikut berebut suara pada Pemilu 2024
2023.12.29
Jakarta

Elfonda Mekel dulu tidak pernah membayangkan dirinya bakal bergelut dalam politik. Tapi kini, mantan vokalis grup musik Dewa 19 itu bercita-cita menjadi wakil rakyat.
Once Mekel – panggilan populer penyanyi bernada tinggi ini – mengikuti jejak sejumlah selebritas lainnya untuk meraih kursi legislatif pada pemilu 14 Februari 2024 dengan memanfaatkan popularitasnya.
“Karena saya percaya bisa berkontribusi dengan baik ke dalam proses pembangunan Indonesia,” kata Once, 53, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Terjunnya para selebritas, termasuk aktor film, penyanyi, komedian, dan pekerja seni lainnya, menjadi fenomena lima tahunan setiap menjelang pemilu di mana keberadaan mereka juga sangat dibutuhkan partai politik dalam menggaet suara.
“Masih banyak yang harus dilakukan, dan dengan latar belakang saya, saya rasa saya bisa memberikan sesuatu untuk negara ini,” kata pria lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.
Fenomena ini bukanlah hal baru di Indonesia, di mana politik dan hiburan telah lama saling terkait. Namun kali ini agak berbeda, ketika partai-partai bersaing merekrut wajah-wajah terkenal untuk meraih suara pemilih.
Jumlah selebritas yang mencalonkan diri untuk kursi legislatif terus meningkat sejak Indonesia memasuki era Reformasi setelah jatuhnya presiden Suharto pada tahun 1998, dari 23 orang pada tahun 2004 menjadi sekitar 80 orang pada tahun 2019 dan 2024.
Namun tingkat keberhasilan mereka bervariasi, 18 di antaranya menang pada tahun 2014, sementara hanya 14 dari mereka yang mendapatkan kursi pada tahun 2019.
Fenomena serupa juga terjadi di kancah politik global, termasuk munculnya selebritas yang menjadi tokoh politik, mulai dari Arnold Schwarzenegger di California, Ronald Reagan di Amerika Serikat, hingga Volodymyr Zelensky di Ukraina.
Di Indonesia, fenomena ini sangat menonjol ketika partai-partai memanfaatkan popularitas dan pengaruh mereka untuk mendulang suara dari pemilih.
“Secara umum, selebritas memiliki kehadiran publik yang signifikan dan basis penggemar yang besar, yang merupakan langkah strategis untuk menggalang dukungan pemilih akar rumput,” kata Wasisto Raharjo Djati, analis politik Badan Riset dan Inovasi Nasional.
“Terlebih lagi, selebritas sering kali mempunyai kemampuan finansial untuk mendanai kampanye mereka, sehingga memberikan jalan pintas bagi partai politik yang menghadapi keterbatasan anggaran untuk membiayai semua kandidatnya,” katanya kepada BenarNews.
Wasisto mengatakan partai politik sering merekrut selebritas karena mereka kekurangan politisi populer dalam kadernya.
“Praktik ini menghasilkan sistem kader yang buruk dan keuntungan yang tidak adil, di mana masyarakat umum harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan perhatian dibandingkan artis terkenal,” ujarnya.
Beberapa selebritas telah membuktikan diri sebagai politisi yang mumpuni dan kredibel, seperti Rieke Diah Pitaloka, mantan aktris yang kini menjadi anggota parlemen senior dari PDI-P, partai berkuasa di bawah kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Ada pula yang memiliki latar belakang yang patut dipertanyakan, misalnya pernah terlibat masalah hukum atau terlibat skandal.
Once mengatakan dia ingin fokus pada isu-isu seperti kemiskinan, pengangguran, layanan kesehatan, dan bantuan sosial, serta memperjuangkan sektor kreatif, yang menurutnya sering diabaikan oleh pemerintah.
“Saya tidak setuju jika hanya mengandalkan popularitas,” ujarnya. “Mereka harus memiliki latar belakang, pendidikan, dan pemahaman yang cukup tentang industri yang mereka wakili.”
Calon legislator selebritas lainnya adalah Anang Hermansyah, penyanyi dan pencipta lagu yang telah malang melintang pada industri musik Indonesia selama lebih dari tiga dekade.
Anang pernah menjadi anggota DPR dari 2014 hingga 2019 tetapi memutuskan untuk tidak mencalonkan diri kembali pada tahun 2019, dan memilih untuk fokus pada karier seni dan kehidupan keluarganya. Kini, dia siap melakukan comeback.
“Masyarakat membutuhkan infrastruktur kesehatan, infrastruktur jalan, pendidikan, bantuan sosial, dan jaring pengaman sosial. Di situlah saya bisa melakukan advokasi untuk menyelesaikan permasalahan di dapil saya,” ujarnya kepada BenarNews.
Anang juga menyambut baik partisipasi artis dan selebritas lainnya dalam pemilihan umum yang akan memilih presiden, wakil presiden, dan anggota legislatif nasional dan daerah.
Beberapa analis dan pengamat menyatakan kekhawatirannya bahwa masuknya selebritas ke dunia politik dapat melemahkan kualitas dan keterwakilan badan legislatif, karena mereka mungkin kurang memiliki pengalaman, keahlian, atau dedikasi untuk melayani kepentingan publik.
Arya Fernandes, analis Centre for Strategic and International Studies, mengatakan bahwa partai politik di Indonesia memiliki sejarah panjang dalam memanfaatkan selebritas, namun tingkat keberhasilannya sering kali mengecewakan.
Arya menyebut tokoh-tokoh mapan seperti Nurul Arifin dan Dede Yusuf – keduanya mantan aktor dan model – sebagai pengecualian yang jarang, dan menyoroti kesulitan bagi pendatang baru untuk menyaingi petahana yang memiliki pengalaman politik mapan dan jaringan akar rumput yang kuat.
“Dalam kontestasi terbuka sekarang dan kompetitif itu memang partai akhirnya, dalam beberapa kasus, tidak mempertimbangkan lagi kompetensi, kompabilitas, ketika mereka mencalonkan karena mereka berpikirnya pragmatis saja... ini yang jadi problem nanti ke depan bagaimana di mana kualitas anggota DPR terpilih,” kata Arya kepada BenarNews.
Muhammad Farhan, mantan pembawa acara TV, yang mencalonkan diri untuk kedua kalinya sebagai anggota DPR dari Partai NasDem di di Jawa Barat, mengatakan bahwa dia didorong oleh hasratnya terhadap politik dan visinya untuk kesetaraan kesejahteraan bagi semua orang.
“Politik merupakan salah satu cara untuk memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk mencapai kesejahteraan bersama,” ujar mantan aktor tersebut kepada BenarNews.
Farhan mengatakan salah satu program yang ingin dijamin adalah kebebasan berekspresi dan berpendapat di berbagai media.
“Kebebasan berekspresi masih belum terjamin 100 persen, baik karena penganiayaan yang dilakukan masyarakat maupun upaya aparat untuk memberangusnya,” ujar Farhan.