Sidang Guantanamo: Warga Malaysia bertanggung jawab atas Bom Bali, akui hidup telah berubah

Kedua terdakwa pekan lalu mengaku bersalah atas pembunuhan dan dakwaan lainnya terkait Bom Bali 2002.
John Bechtel
2024.01.26
Teluk Guantanamo, Kuba
Sidang Guantanamo: Warga Malaysia bertanggung jawab atas Bom Bali, akui hidup telah berubah Dalam foto yang telah ditinjau pihak militer AS ini, seorang tentara menutup gerbang Camp X-Ray yang kini telah dikosongkan, yang dulu digunakan sebagai fasilitas penahanan untuk terduga militan Al Qaeda dan Taliban yang ditangkap setelah serangan 11 September, di Teluk Guantanamo, Kuba, 21 November 2013.
Charles Dharapak/AP file photo

Dua warga Malaysia yang pekan lalu mengaku bersalah atas keterlibatan mereka dalam Bom Bali 2002 mengatakan hidup mereka telah berubah sejak berada dalam tahanan AS selama lebih dari dua puluh tahun.

Mohammed Farik Bin Amin dan Mohammed Nazir Bin Lep menyampaikan pernyataan itu dalam sidang militer di Camp Justice, Teluk Guantanamo, Kuba pada Kamis (24/1), satu hari setelah beberapa keluarga korban mengenang duka yang mereka rasakan hingga saat ini. Bom Bali menewaskan total 202 orang.

Panel berisikan lima perwira militer AS dijadwalkan menentukan hukuman bagi para terdakwa pada Jumat.

“Saya meminta maaf. Saya bertanggung jawab atas tindakan saya,” kata Bin Amin, menambahkan bahwa dia sedang tidak mencari-cari alasan.

Pada sesi sidang Kamis, tim pembela hukum Bin Amin menghadirkan sketsa yang digambar Bin Amin dan menunjukkan waterboarding dan siksaan lainnya yang menurutnya dia alami selama berada dalam tahanan AS sebelum dikirim ke Teluk Guantanamo pada 2006.

“Saya bukan lagi seorang pria muda yang pemarah,” kata Bin Amin.

Bin Lep menyampaikan pernyataan serupa.

“Saya hari ini lebih baik daripada saya 20 tahun lalu,” kata dia. “Saya belajar dari kesalahan saya.”

Kedua terdakwa mampu berbicara bahasa Inggris, tetapi seorang penerjemah tetap menerjemahkan beberapa kalimat Bin Amin agar dapat dimengerti peserta sidang.

1bd42c18-0ef2-451b-9caa-3ba26c6babcc.jpeg
Tahanan dari Afghanistan duduk dalam sel mereka di Camp X-Ray, di pangkalan Angkatan Laut AS di Teluk Guantanamo Kuba, 2 Februari 2002. [Lynne Sladky/AP file photo]

 

Dalam pernyataannya, Bin Amin mengatakan dia pergi ke Afghanistan sebelum Bom Bali. Di sana, dia menjadi prihatin tentang penderitaan umat Muslim di seluruh dunia. Dia menambahkan dia ingin membela agama.

Dia mengatakan dia setuju untuk mentransfer uang pada Desember 2002 untuk membantu beberapa pihak yang terlibat dalam serangan Bom Bali, yang terjadi dua bulan sebelumnya.

“Saya katakan pada Anda sekarang saya adalah manusia yang lebih baik,” kata Bin Amin mengakhiri pernyataannya. “Saya serahkan pada Anda untuk memutuskan” nasib saya.

Bin Lep

Setelah memperkenalkan diri, Bin Lep mengakui kejahatannya. “Saya bersalah atas peran saya dalam Bom Bali.

“Saya ingin mengatakan saya meminta maaf,” kata dia. “Tindakan saya salah dan kesalahan itu akan bersama saya selamanya.”

Bin Lep, 47, mengatakan serangan bom itu terjadi ketika dia masih “muda, belum matang, dan keras kepala.”

“Hanya seiring usia dan kematangan saya bisa benar-benar memahami.”

Baik Bin Lep maupun Bin Amin, 48, menggarisbawahi upaya mereka bekerja sama dengan tim penuntut hukum. Bin Amin mengatakan upayanya dimulai pada 2014.

Untuk bagiannya, Bin Lep mengatakan, “Saya di sini untuk bekerja sama.”

Selain itu, keduanya mengatakan mereka disiksa setelah ditangkap di Thailand pada 2003. Keduanya dibawa ke fasilitas rahasia CIA, tempat mereka ditahan hingga dipindahkan ke Teluk Guantanamo pada 2006, menurut laporan investigasi Kongres AS.

Bin Amin mengatakan dia tidak ingin membandingkan siksaan yang dialaminya selama ditahan CIA dengan tragedi yang menimpa korban jiwa atau cedera dalam serangan bom 12 Oktober 2002 itu.

“Saya tidak berusaha bersaing dengan para korban,” kata dia.

6faca3ae-c868-41cf-81c8-39fc04aafde4.jpeg
Keluarga berdoa bagi korban Bom Bali saat peringatan 20 tahun serangan yang menewaskan 202 orang itu, di Monumen Peringatan Bom Bali di Kuta, Bali, 12 Oktober 2022. [Firdia Lisnawati/AP]

Pembela utama Bin Amin, Christine Funk, menghadirkan beberapa gambar yang dibuat Bin Amin selama ditahan di Thailand dan fasilitas rahasia CIA. Funk bertanya kepada Bin Amin mengenai gambar-gambar itu karena menurut Funk, Bin Amin tidak nyaman berbicara tentang siksaan yang didapatkannya sebelum dikirim ke Guantanamo.

Gambar pertama menunjukkan Bin Amin tengah tersenyum.

Beberapa gambar menunjukkan bagaimana dia disiksa, termasuk dengan cara waterboarding – di mana wajah seorang tahanan ditutupi kain dan disirami air sehingga dia merasa seperti tenggelam. Bin Amin kerap dipaksa telanjang dan diikat kaki dan tangannya.

Satu gambar menunjukkan seseorang mengambil foto Bin Amin sembari disaksikan seorang lainnya. Bin Amin mengatakan dia telanjang dan tidak diperbolehkan menutupi tubuhnya.

Seseorang itu “menepis tangan saya.”

Bin Lep mengatakan dia sudah melihat gambar itu, menambahkan bahwa dia juga mendapatkan siksaan serupa. Tetapi dia mengatakan dia memaafkan orang-orang yang menyiksanya.

Perwira militer di pangkalan angkatan laut AS di Guantanamo melarang reporter menyiarkan gambar-gambar itu. Fotografi juga dilarang di dalam persidangan.

Kesaksian saudara

Pada hari yang sama, sebelumnya saudara laki-laki Bin Amin – Mohammed Fadil dan Mohammed Faizal – berbicara untuk menyampaikan dukungan kepada adik mereka. Keduanya tiba di persidangan pada Selasa, beberapa hari setelah tim penuntut mengumumkan bahwa mereka tidak mendapatkan visa untuk bepergian ke Amerika Serikat.

Fadil Bin Amin, anak sulung dari 10 bersaudara, mengatakan dia mendengarkan kesaksian keluarga korban pada Rabu. Terdakwa Farik Bin Amin adalah anak keenam.

“Inilah kali pertama saya mendengarkan cerita yang begitu memilukan,” kata dia dalam bahasa Inggris. “Saya berharap dapat memeluk semua orang.”

Fadil Bin Amin, yang tinggal di Kuala Lumpur, mengatakan orang tua mereka mengajari mereka untuk menjalankan perintah agama. Ibu mereka memastikan mereka salat, berperilaku baik, jujur, dan tumbuh menjadi manusia baik.

Fadil Bin Amin, seorang arsitek, pergi sekolah ke Inggris sedangkan saudara perempuannya pergi sekolah ke Amerika Serikat.

Dia mengatakan orang tuanya menekankan bahwa “Amerika atau negara Barat adalah sumber kesempatan.”

Faizal Bin Amin mengikui abangnya ke mimbar saksi – dia adalah anak kelima.

Menahan tangis selama menyampaikan kesaksian, Faizal Bin Amin mengatakan dia dekat dengan terdakwa Farik Bin Amin semasa kecil.

“Kami tumbuh bersama. Kami main petak umpet bersama,” kata dia.

Faizal Bin Amin mengatakan adiknya seorang pemalu dan rendah hati, seraya menambahkan bahwa Farik Bin Amin adalah yang paling religius di antara semua kakak dan adiknya.

Dia mengatakan dia senang Farik Bin Amin bertanggung jawab atas tindakannya, dan mengatakan dia tidak mengetahui apa konsekuensi yang akan diterimanya.

Pekan lalu, Bin Amin dan Bin Lep mengaku bersalah atas pembunuhan, konspirasi, dan tiga dakwaan lainnya yang terkait serangan bom itu.

Menyusul pengakuan bersalah itu, Hakim Militer Wesley Braun merekomendasikan hukuman 20-25 tahun penjara. Tetapi panel, yang akan memulai pertimbangan pada Jumat, tidak diwajibkan mengikuti rekomendasi itu.

Bin Lep dan Bin Amin dibawa ke pangkalan AS di Guantanamo pada tahun yang sama dengan Encep Nurjaman alias Hambali, yang diduga sebagai otak serangan.

‘Hidup kalian hancur’

Sesi sidang diawali dengan kesaksian Solomon Miller yang membacakan pernyataan dari neneknya. Pada Rabu, Miller dan ibunya, Susanna, berbicara tentang paman Solomon, Dan, 31, yang tewas dalam ledakan.

Solomon mengatakan ibunya menuliskan tentang warisan mengesankan dari Dan – dana jutaan pound bagi korban luka bakar dewasa.

“Hidup kalian hancur dan tidak berharga,” kata Solomon kepada kedua terdakwa, di bagian akhir penyataan neneknya.

Susanna Miller juga kembali naik ke mimbar saksi untuk membacakan pernyataan saudara iparnya, Polly, yang menikah dengan Dan lima pekan sebelum ledakan. Polly menderita luka bakar pada lebih dari setengah tubuhnya yang terus terasa sakit hingga sekarang.

Warga Australia Jan Laczynski mengirim email kepada Hakim Braun, mengatakan bahwa dia kehilangan lima kawan dalam serangan bom “yang mengubah hidup saya selamanya.”

“Mohon jangan abaikan kenangan mengenai para korban dengan memberikan hukuman ringan yang tidak setimpal,” kata dia.

“Bom Bali bagi Australia bagaikan serangan 11 September bagi Amerika.”

011e57f2-0302-4460-91ca-98882b32709a.jpeg
Reruntuhan klub malam Sari dan bangunan di sekitarnya yang hancur akibat serangan Bom Bali terlihat di Kuta, Bali, pada 15 Oktober 2002. [Achmad Ibrahim/AP file photo]

Laczynski mengatakan dia kerap mengunjungi Sari Club sebelum serangan, mengatakan bahwa dia diberi tahu bahwa emailnya akan dimasukkan dalam daftar bukti bagi panel.

Dia mengatakan dia berharap dapat melihat vonis yang dijatuhkan kepada kedua terdakwa.

“Saya merasa sangat frustrasi tidak dapat menonton sidangnya secara online,” kata dia kepada reporter BenarNews di Indonesia.

Dia mengatakan dia “sangat grogi, berharap para teroris tetap dipenjara atau dikirim ke Malaysia untuk dipenjara. Akan sangat menghina apabila mereka dibebaskan.”

Ahmad Syamsudin di Jakarta berkontribusi dalam laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.